Jumat, 18 Januari 2013

Biogas untuk skala rumah tangga

Pangalengan, Kab. Bandung, Jawa-Barat, adalah sentra peternakan sapi perah. Di sana, ada beberapa peternak yang kreatif memanfaatkan pupuk kotoran sapi, untuk biogas. Salah seorang peternak, memiliki tujuh ekor sapi dewasa. Sekitar seperempat kotoran sapi itu ditampung dalam lubang di belakang kandang yang dikerudungi plastik. Kotoran sapi yang sudah tercampur air itu menggenang dalam lubang. Tiap hari kotoran baru masuk, dan kelebihan volume akan mengalir dari lubang yang dibuat, ke penampungan lain untuk dijadikan pupuk.

Dari penampungan seperempat kotoran itu, keluarlah biogas, yang kemudian dialirkan ke "tabung raksasa" berupa kantung plastik bening berdiameter 1,5 m, dengan panjang 5 m. Dari tabung plastik ini, gas dialirkan ke kompor yang ada di dapur. Hingga keluarga peternak ini terbebas dari membeli bahan bakar minyak, kayu bakar maupun gas. Sebab untuk memasak sehari-hari, biogas dari kotoran sapi itu berlebih. Itu pun baru dimanfaatkan seperempat dari volume kotoran yang ada. Di rumah tangga peternak itu sudah ada listrik. Seandainya belum ada, maka biogas itu juga bisa dimanfaatkan untuk penerangan.

Pangalengan adalah kawasan pegunungan, dengen elevasi rata-rata di atas 1000 m. dpl. Hingga udara selalu dingin. Maka biogas itu juga dimanfaatkan untuk menghangatkan ruangan, dan memanaskan air untuk mandi. Teknologi yang digunakan oleh peternak di Pangalengan ini sangat sederhana, dan dengan biaya yang sangat murah. Dalam kondisi krisis energi dewasa ini, sudah selayaknya biogas dipopulerkan. Terutama di kalangan para peternak. Namun di Pangalengan pun, baru ada satu dua peternak yang memanfaatkan biogas. Lainnya masih mengandalkan bahan bakar minyak tanah, yang harus dibeli setiap hari.

Biogas adalah gas, yang terbentuk karena proses penguraian bahan organik secara anaerobik (tanpa oksigen), baik melalui penimbunan maupun fermentasi. Komposisi biogas adalah gas methane (CH4) 50-75%; karbon dioksida (CO2) 25-50 %; nitrogen (N2) 0-10%; hidrogen (H2) 0-1%; hidrogen sulfat (H2S) 0-3%; oksigen (O2) 0-2%. Biogas bisa langsung dibakar seperti yang dilakukan oleh peternak di Pangalengan tadi. Bisa untuk pembangkit listrik, dengan cara memanaskan air, kemudian uap air yang terbentuk digunakan untuk menggerakkan turbin.

Bahan untuk biogas bisa berupa bahan organik apa saja. Di RRC, faces dan urin manusia, sudah dimanfaatkan untuk biogas. Di satu kompleks pemukiman, septictank yang ada diberi saluran menuju ke septictank induk. Di septictank induk ini, urine dan faces terfermentasi hingga membentuk biogas. Biogas yang terbentuk, digunakan untuk memanaskan air, guna menggerakkan turbin. Hingga yang disalurkan ke rumahtangga, bukan berupa gas melainkan aliran listrik. kotoran yang gasnya telah diambil, diproses menjadi pupuk. Pupuk yang berasal dari kotoran manusia ini, digunakan untuk memupuk tanaman hias, atau ubijalar sebagai pakan babi.

Dengan proses berantai tadi, secara psikologis masyarakat tidak merasa jijik, karena menggunakan gas yang berasal dari kotoran manusia secara langsung. Sebab yang mereka konsumsi sudah berupa energi listrik. Bukan gas, yang secara fisik memang terbetuk dari kotoran manusia. Meskipun biogas, karena lebih dari 50% terdiri dari gas methane, maka baunya juga bau gas methane. Bukan bau septicktank. Demikian pula dengan pupuknya. Meskipun sebagai pupuk tinja itu sudah terurai menjadi bahan organik, masyarakat tetap merasa tidak enak kalau harus mengkonsumsi produk pangan yang dipupuk dengan tinja.

Hingga di RRC, pupuk tinja yang berasal dari limbah biogas, hanya digunakan untuk memupuk tanaman hias, atau ubi jalar. RRC adalah produsen ubijalar terbesar di dunia, yang sebagian besar digunakan sebagai pakan ternak. Secara psikologis, para penyantap daging babi atau domba di RRC, hanya tahu bahwa ternak itu diberi pakan ubi, batang dan daun ubijalar. Bukan mengkonsumsi pupuk tinja. Daur ulang tinja untuk biogas di RRC, bisa sangat menghemat komponen bahan bakar. Masalah limbah dari 1,2 milyar penduduknya, telah diubah oleh pemerintah RRC menjadi potensi penghasil energi listrik dan pupuk penghasil bahan pangan.

Karena tinja pun bisa menghasilkan energi, maka limbah organik apa saja juga bisa diproses untuk menghasilkan biogas. Asalkan penguraian bahan organik itu bisa terjadi dalam keadaan anaerob. Hingga sampah kota (sampah padat), limbah organik cair, limbah pertanian, bahan organik dari hutan, semuanya bisa dijadikan biogas. Sampah kota selalu terdiri dari bermacam bahan, termasuk plastik, kayu, logam (terutama kaleng), batu, dan beling. Bahan padat ini, di negara berkembang sepert Indonesia, sudah diseleksi oleh para pemulung. Plastik yang tidak diambil pemulung adalah kantung kresek dan kantung pembungkus lainnya.

Sampah kota yang akan diproses menjadi biogas, harus dipisahkan dari bahan non organik. Pemisahan ini bisa dilakukan sejak sampah masih berada di rumah tangga. Namun kalau sampah organik dan anorganik itu sudah terlanjur tercampur, pemrosesan masih bisa dilakukan melalui pengomposan awal, dengan pemberian kapang atau bakteri. Tujuannya, agar sampah tidak menimbulkan bau. Setelah itu dilakukan pemisahan antara bahan non organik dengan organik, melalui pengayakan kasar. Bahan padatnya bisa dibakar, untuk energi, bisa pula diproses menjadi batu bata. Bahan organiknya segera dimasukkan ke dalam tampungan, diberi air, starter bakteri, dan kemudian gasnya ditampung.

Kendala utama menjadikan sampah kota di Indonesia sebagai energi, antara lain karena kandungan airnya yang sangat tinggi. Dengan memisahkan bahan organik dengan anorganik, proses pemanfaatan energi bisa lebih mudah. Sebab bahan plastik bisa dibakar untuk langsung menghasilkan energi. Bahan organik yang banyak mengandung air, dijadikan energi justru dengan mamanfaatkan air yang terkandung dalam bahan organik tersebut, melalui proses penguraian dalam kondisi anaerob. Proses ini, juga bisa dilakukan sederhana dalam skala rumah-tangga. Energi gas yang diperoleh, paling sedikit bisa digunakan untuk memanaskan air di kamar mandi.

Sebenarnya, kompleks perumahan yang baru dibangun, bisa menjadi demplot dalam pemanfaatan energi biogas. Caranya, semua septicktank dari masing-masing rumah, diberi saluran menuju tangki induk. Di tangki induk ini, limbah dari septicktank, dicampur dengan sampah organik untuk diambil biogasnya. Energi biogas yang diperoleh, bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik, yang minimal bisa memenuhi kebutuhan penerangan umum pada malam hari. Misalnya penerangan jalan dan taman. Pada siang hari, energi listrik bisa digunakan untuk menaikkan air tanah guna menyiram tanaman di jalan dan taman umum.

Biogas diperoleh melalui proses penguraian (fermentasi) bahan organik dalam keadaan anaerob. Yang paling ideal dan murah, kondisi anaerob diperoleh melalui perendaman. Bahan organik yang terendam air, kondisinya sangat anaerob. Pemberian bakteri atau kapang anaerob pada bahan organik yang terendam air, akan mengakibatkan terjadinya penguraian hingga menghasilkan biogas. Namun tidak semua bahan organik yang rendam air akan bisa terutai dan menghasilkan biogas. Kalau bahan itu bertumpukan terus di dalam air yang kondisinya sangat masam, maka tidak akan terjadi penguraian sampai ratusan bahkan ribuan tahun.

Bahan organik yang terendam di rawa-rawa Kalimantan misalnya, tidak terurai dan menghasilkan gasbio, melainkan menjadi gambut. Karena belum pernah mengalami penguraian, maka gambut masih bisa diproses lebih lanjut menjadi biogas. Hingga gambut merupakan bahan energi yang sebenarnya setara dengan batubara, minyak bumi maupuh gas alam. Sebab minyak bumi, gas alam dan batubara juga barasal dari bahan organik yang terjebak dalam cekungan kulit bumi selama jutaan tahun. Selain bisa diproses menjadi biogas, gambut juga bisa dibakar langsung, atau dibuat briket terlebih dahulu. Hingga Indonesia sebenarnya tidak perlu menderita terlalu banyak karena naiknya harga BBM.

Biogas, yang komponen utamanya gas methane, merupakan bahan bakar yang sangat ramah lingkungan. Sebab pembakaran tiap molekul gas mathene (CH4), akan menghasilkan satu molekul karbondioksida (CO2), dan dua molekul air (H2O). Skema pembakaran biogas CH4 + 2O2  CO2 + 2H2O, akan menghasilkan CO2 lebih kecil di atmosfir, dibanding dengan pembakaran bahan bakar fosil. Sebab CO2 dalam gas methane dalam biogas, berasal dari udara yang diambil langsung selama proses fotosintesis tumbuhan. Itulah sebabnya bahan bakar gas (BBG), yang komonen utamanya gas mathene, juga lebih ramah lingkungan dibanding dengan BBM maupun batubara.

SUMBER KLIPPING: Foragri

Tidak ada komentar: